Eyes
“wohh..ketok
pintu dulu kan bisa dek. Main nyelonong aja.” Ujar Aldo
“Untuk apa ketok dulu. Kan abang juga tau di rumah ini
Cuma kita berdua.” Raina membanting tubuhnya di atas kasur saudara laki-lakinya
itu.
“Mama sama papa belum pulang juga?” tanya Aldo.
“Tadi aku telpon, papa bilang besok sore baru pulang
dari Bandung.” Kata Raina sambil mengotak-atik handphone milik abangnya.
“Benarkah? Kalau begitu kenapa kita masih diem aja di
rumah?” Aldo membalikkan tubuhnya dari layar komputernya.
“heh?” Raina tak mengerti.
“Ayo pakai jaket. Ikut aku.” Ajak Aldo.
***
Aldo melajukan mobilnya secepat ia
bisa. Raina yang duduk di sebelahnya hanya diam. Raina tak tahu kemana Aldo
akan mengajaknya. Mungkin membeli
makanan. Pikir Raina dalam hati.
“Abang, kita mau kemana sih? Aku ga
pernah lewat sini.” Raina sibuk memandangi ke arah luar jendela.
“karena itu aku ngajak kamu kesini
dek. Liat aja nanti.” Aldo masih merahasiakan hal yang ingin ditunjukkannya
kepada adek perempuannya itu.
Tanpa disadari mobil berhenti, tanda
mereka sudah sampai di tempat tujuan. Aldo menarik tangan Raina untuk cepat
keluar dari mobil. Raina hampir jatuh dibuatnya. Karena tempatnya agak menanjak
sedikit,Jadi mobil susah untuk naik.
Setelah mereka sampai di atas, betapa
takjubnya Raina melihat pemandangan kota dari atas. “Waah, ini...” Raina masih
membuka mulutnya lebar-lebar.
“indah kan? Ga nyesel deh, aku ajak
kesini dek.” Aldo tersenyum.
Mereka berdua duduk melihat
pemandangan kota yang kelap-kelip mewarnai malam itu. Mereka mulai bercerita
tentang guru di sekolah mereka sampai curhat tentang teman-teman mereka.
“Abang, liat!! Ada bintang jatuh.”
Kata Raina sambil menunjuk ke arah cahaya yang bergerak secepat kilat itu.
“lah, terus kenapa?” Aldo rasa tak
ada yang istimewa jika ada bintang jatuh.
“ucapkan permintaan abang. Menurut
mitos kan begitu.” Raina menjelaskan.
“itu Cuma mitos dek.”,
“Mana tau aja permintaan abang
terwujud.”gerutu Raina.
“ya sudah, abang buat permintaan.”
Aldo pun menuruti perkataan Raina.
Aldo pun menutup matanya seraya
mengucapkan permintaannya dalam hati.
“abang minta apa?” Raina kepo.
“Tau ah. Rahasia dong.” Aldo tertawa.
“Udah jam 8. Pulang yok.” Raina
menguap.
“Udah ngantuk aja adek abang yang
satu ini, masih jam 8 udah ngantuk.” Ledek Aldo sambil berdiri dari duduknya.
***
Raina masih bergolek-golek diatas
tempat tidur berlapis gambar Club bola favorit abangnya itu, Real Madrid.
Sedangkan Aldo masih sibuk mengetik di komputernya.
“Abang, ngerjain apaan sih?” tanya
Raina yang sedari tadi memerhatikan abangnya mengetik.
“Ini loh ada mading project dari
sekolah, abang ketuanya. Jadi disuruh buat proposal kerja team madingnya.”
Jelas Aldo.
“oh yodah, aku nganggu pasti. Aku ke
kamar ya.” Raina menutup pintu kamar abangnya.
Raina kembali ke kamarnya. Ada alasan
lain kenapa Raina meminta keluar dari kamar abangnya, kepalanya sangat pusing.
Akhir-akhir ini kepala Raina sering sakit tak seperti biasanya. Rasanya sakit
sekali. Tapi dia tidak mau memberi tahu abangnya, karena ia tahu abangnya
sedang sibuk. Ia menahan sakit kepalanya itu sampai ia terlelap di atas tempat
tidurnya.
***
Sinar matahari melewati celah-celah
jendela kamar Aldo. Ia melihat jam weker bergambar bola pemberian adeknya. Jam
07.00? bisa terlambat ini. Gerutu Aldo dalam hati. Ia langsung berlari ke kamar
mandi, memakai seragamnya dan memastikan semua buku pelajarannya sudah terbawa.
Ia memang lembur ngetik projectnya itu sampai pukul 12 malam. Raina?? Dia udah
bangun atau belum? Ya ampun aku lupa.
Aldo mencari-cari Raina di kamarnya,
namun tak kunjung bertemu. Ia berlari ke bawah, dilihatnya Raina sudah
menunggunya untuk sarapan.
“abang lama banget sih. Aku udah
nunggu dari tadi tau!!” Raina cemberut.
“iya, tadi kesiangan. Sorry ya.” Ujar
Aldo.
Mereka menikmati sarapan yang sudah
disiapkan Raina sebelum Aldo bangun.
Seperti biasa, mereka mengikuti
pelajaran di sekolah. Raina duduk di kelas X. Sedangkan Aldo satu tingkat lebih
tinggi darinya, kelas XI. Mereka satu sekolah, dan hampir setiap hari selalu
berangkat dan pulang bersama. Walaupun Raina sering menunggu sampai sore,
sampai abangnya selesai membuat mading projectnya itu bersama rekan-rekannya.
Seusai bel sekolah bunyi, Raina dan
teman-temannya biasanya ke kedai kopi di sekitar sekolah. Namun di tengah perjalanan, Yola teman Raina di tabrak
rombongan kakak kelas yang sepertinya bermusuhan dengan Yola.
“eh, jalan pake mata dong kak.”
Gerutu Feni.
“mata gue lagi rabun. Sorry ye.
Hahaha” ujar kakak kelas itu.
“pantes nabrak. Tadi gue kira malah
buta.” Kata Raina.
“eh, mulut jaga ya.”,
“kelakuan lu tu yang dijaga kak.
Mentang tua dari kita lu seenaknya doang.” Raina membantah omongan kakak kelas
itu.
“berani lu ngomong kek gitu di depan
kakak kelas hah??” kakak kelas itu mulai emosi.
“kakak kelas kayak lu mah, kagak ada
yang takut. Lu sekali banting, tewas.” Feni membalas.
Saat kakak kelas itu hendak memukul
Feni, Raina segera menahan tangannya dan menjatuhkannya ke tanah. Kakak kelas
itu pun kesakitan. Sampai seorang laki-laki yang mungkin pacar kakak itu
datang. Bukan hanya sekedar pacar kakak kelas itu, tapi Raina terkejut bukan
main. Lelaki itu adalah abangnya sendiri.
“Raina, kamu apain dia?” tanya Aldo.
“dia yang duluan ganggu Yola sama
Feni.” Raina membela dirinya.
“Tapi itu ga baik, Raina!” Aldo mulai
marah.
“Tapi bang..”,
“Ga boleh kayak gitu sama kakak
kelas, ngertii!!” gertak Aldo.
“Dia itu jahat bang.” Raina masih
membalas kata-kata abangnya.
“Kamu udah mencelakainya,Raina! Adek
macam apa kamu! Jangan pernah panggil aku abang lagi.” Raina tercengan
mendengar ucapan abangnya itu.
Raina hanya menatap punggung abangnya
itu yang semakin hilang di pinggir jalan. Raina harus menerima kenyataan ini,
dimana ia kehilangan abang tersayangnya. Raina duduk di halte menunggu bus
jurusan rumahnya datang. Tidak ada lagi abang yang menjemputnya, tidak ada lagi
abang yang mengantarnya. Sungguh sedih Raina hari itu.
Sesampainya di rumah, papa dan mama
sudah tiba dari Bandung. Kedua orang tua mereka jarang sekali memerhatikan
mereka. Saat Raina sedih seperti ini orang tuanya tidak akan tahu.
“besok aku akan keluar kota bersama
guru-guru dan team mading projectku. Aku disana kurang lebih selama sebulan.
Jaga dirimu baik-baik.” Ujar Aldo sambil menutup pintu kamar adeknya itu.
Raina menangis semalaman, ia tak
mengerti abangnya menjadi seperti itu. Dia bukan seperti orang yang dikenal
Raina lagi. Aldo membenci Raina saat ini. Raina sudah membuat kekasihnya
terluka. Hanya ada boneka pemberian abangnya saat Raina ulang tahun waktu itu
yang sekarang menemani Raina dalam kesedihannya, Valina.
***
Hari-hari Raina kini dipenuhi dengan
kesedihan. Dia sendiri, kesepian. Dia sangat merindukan abangnya. Sampai suatu
malam karena lelah menangis, Raina merasa kepalanya makin sakit dan ia tak kuat
berdiri. Dan akhirnya Raina tak sadarkan diri.
Orang tuanya membawa Raina ke rumah
sakit untuk diperiksa. Dokter mengatakan Raina terserang penyakit kanker otak.
Raina terkejut bukan main. Selama ini sakit kepala yang ia abaikan adalah
kanker. Dan dokter memvonis Raina hanya bisa bertahan selama sebulan lagi.
“Ma, tolong jangan beritahu hal ini
kepada abang. Nanti dia khawatir.” Ujar Raina.
***
Tidak terasa besok Aldo akan pulang
ke rumah. Raina membuat cupcakes kesukaan abangnya itu. Ia harus menyiapkan
semuanya sebelum abangnya pulang. Malam itu, Raina berjalan keluar bersama
Raldi karena ingin membeli tepung di swalayan. Kebetulan saat di jalan ia
bertemu Raldi, jadi ia tidak kesepian. Raina mencoba menelpon abangnya, namun
tak ada jawaban. Berulang kali ia mencoba, tetap tidak aktif.
“kamu khawatir sama abang kamu ya,
Na?”tanya Raldi.
“Iya lah, dia kan abang aku. Walaupun
dia ga nganggap aku sebagai adeknya lagi.” Ujar Raina sambil menggenggam
handphonenya.
Tiba-tiba handphone Raina berdering,
dari nomor abangnya. Raina senang sekali abangnya mau menelponnya lagi. Tapi,
Raina salah.
“Halo, ini keluarga saudara Revaldo?”
suara itu mengagetkan Raina.
“Ya saya adeknya. Ini siapa? Abang
saya kenapa?”,
“saudara Revaldo baru saja mengalami
kecelakaan. Dan sekarang ada di Rumah Sakit Bersama.” Ujar perawat itu.
Raina langsung berlari menerobos
hujan yang begitu lebat dan meninggalkan payungnya dengan Raldi di swalayan. Ia
takut terjadi apa-apa dengan abangnya.
Sesampainya di rumah sakit, Raina
terus menatapi wajah abangnya yang terbaring lemas diatas ranjang. Bajunya
basah kuyup karena hujan. Papa dan mama juga terus menunggu kepastian dokter.
Beberapa menit kemudian, dokter keluar dari ruangan Aldo.
“begini pak, buk. Aldo mengalami
benturan keras di sekitar matanya. Membuat saraf pada matanya putus,
kemungkinan Aldo akan mengalami kebutaan.” Ujar dokter tersebut.
“Ambil mata saya dok.” Ucap mama.
“mata saya aja dok.” Ujar papa
bergantian.
“saya harus mempertimbangkan dulu
pak. Tidak bisa sembarang mata.” Kata dokter itu.
***
“Besok nonton abang tanding bola ya?”
tanya Aldo.
“Hmm.. oke deh.”,
“Jalan keluar yuk.” Ajak Aldo.
“boleh.” Ujar Raina.
“Raina, kamu ga usah ikut keluar.”
Larang papa.
“aku kuat pa.” Ujar Raina.
“itu sebelum kamu ..” kata-kata papa
terhenti.
“Aku masih kuat papa.”.
Raina berjalan keluar rumah bersama
abangnya. Aldo agak aneh melihat Raina. Sepertinya ia sulit berjalan, selain
itu ia kesulitan mencari arah. Ia selalu menggenggam tangan abangnya.
Hari ini Aldo akan tanding bola. Ia
senang sudah bisa melihat lagi. Setelah kemarin pembalut di matanya telah
dibuka. Ia menunggu kedatangan Raina. Namun setelah babak kedua di mulai pun
Raina tak kunjung datang.
Saat ini Aldo akan melakukan penalti
terakhir. Dia harus mencetak gol kali ini. Dia ingin Raina melihatnya. Dan
ternyata benar saja, Raina baru saja datang. Melihat Raina datang, Aldo
langsung menendang bola ke gawang lawan dan GOL. Tapi sayang, kebahagiaan Aldo
pupus seketika, melihat adeknya jatuh tersungkur di pintu masuk gor.
***
“Gue nyesel, nyia-nyiain dia,
nyusahin dia, buat dia nangis. Sekarang gue bisa apa? Dia udah pergi jauh.”
Ujar Aldo kepada sahabatnya.
“Lo harus relain dia pergi bro, lo
udah jadi abang yang baik buat dia kok.”,
“ya thanks bro. Jadi kita kerja
kelompok?” tanya Aldo.
“Yoi.”,
“tapi komputer gue lagi rusak. Minjem
laptop adek gue aja kali ya. Udah lama ga dia pake.” Ujar Aldo.
Aldo masuk ke kamar adeknya itu, Ia
benar-benar merindukan sosok adeknya. Saat ia ingin mengambil laptop Raina.
Diatas laptop itu, ada secarik kertas kecil.
“Untuk abangku tercinta,
Aku kangen abang, aku rindu melihat bintang jatuh bersama
abang. Aku ingin terus di dekat abang. Aku minta maaf atas kejadian waktu itu.
Aku sadar aku salah.
Abang, apapun akan kulakukan asal abang senang. Ada satu hal
yang kuminta dari abang. Jangan pernah meninggalkanku, membenciku ataupun
menganggap aku tidak ada. Karena aku sayang banget sama abang.
Raina.”
Saat Aldo menekan tombol On pada
laptop Raina, ternyata laptop itu dalam keadaan hibernate. Berarti Raina
menggunakan laptop ini sebelum dia meninggal.
Aldo sedih sekali, ternyata Raina
membuat video untuknya. Penyesalan selalu datang terakhir.
“Raina, kamu bohong. Kamu bilang
dengan mengucapkan permintaan saat bintang jatuh akan dikabulkan permintaan
itu. Saat itu Aku meminta agar bisa melihat bintang jatuh lagi bersamamu ,
Raina adekku yang kusayang. Tapi apa? Kamu meninggalkanku lebih dulu.”
Stephany
Raina Salwa & Revaldo Anggara.